TOKYO — Mahkamah Agung Jepang pada Rabu (26/10) mengeluarkan putusan bahwa undang-undang yang mewajibkan orang transgender menghilangkan organ reproduksinya untuk secara resmi mengubah gender mereka adalah inkonstitusional.
Keputusan oleh majelis hakim 15 anggota Grand Bench pengadilan tertinggi adalah yang pertama mengenai konstitusionalitas undang-undang Jepang tahun 2003 yang mewajibkan penghilangan organ reproduksi untuk perubahan gender yang diakui negara, sebuah praktik yang lama dikritik oleh kelompok hak asasi internasional dan medis.
Kasus ini diajukan oleh penggugat yang permintaan perubahan gender di register keluarganya — dari biologis ditetapkan laki-laki menjadi perempuan — ditolak oleh pengadilan tingkat bawah.
Keputusan ini datang pada saat kesadaran meningkat mengenai isu-isu yang melingkupi masyarakat LGBTQ+ di Jepang dan merupakan kemenangan besar bagi komunitas tersebut.
Kyodo News mengatakan para hakim secara bulat memutuskan bahwa bagian undang-undang yang mewajibkan kehilangan fungsi reproduksi untuk perubahan gender adalah inkonstitusional. Rincian lain dari putusan belum tersedia.
Berdasarkan undang-undang yang dibatalkan, orang transgender yang ingin mengubah gender biologis yang ditetapkan pada register keluarga dan dokumen resmi lainnya harus didiagnosis memiliki Gangguan Identitas Gender dan menjalani operasi untuk menghilangkan organ reproduksinya.
Aktivis LGBTQ+ di Jepang memperkuat upaya untuk mengesahkan undang-undang anti-diskriminasi sejak mantan asisten Perdana Menteri Fumio Kishida mengatakan pada Februari bahwa ia tidak ingin tinggal di sebelah orang LGBTQ+ dan bahwa warga akan meninggalkan Jepang jika pernikahan sesama jenis diizinkan.
Tetapi perubahan datang lambat dan Jepang tetap menjadi satu-satunya anggota Kelompok Tujuh yang tidak mengizinkan pernikahan sesama jenis atau perlindungan hukum yang efektif, termasuk undang-undang anti-diskriminasi.
Penggugat, yang hanya diidentifikasi sebagai penduduk di barat Jepang, awalnya mengajukan permintaan pada tahun 2000, menyatakan bahwa persyaratan operasi memaksa beban ekonomi dan fisik yang besar dan bahwa hal itu melanggar jaminan hak yang setara dalam konstitusi.
Kelompok hak asasi dan komunitas LGBTQ+ di Jepang berharap adanya perubahan undang-undang setelah pengadilan keluarga lokal, dalam putusan yang belum pernah terjadi sebelumnya awal bulan ini, menerima permintaan perubahan gender seorang transgender pria tanpa operasi wajib, dengan menyatakan aturan tersebut inkonstitusional.
Undang-undang khusus yang berlaku sejak 2004 menyatakan bahwa orang yang ingin mendaftarkan perubahan gender harus menghilangkan organ reproduksinya yang asli, termasuk testis atau ovarium, dan memiliki tubuh yang “tampak memiliki bagian yang mirip dengan organ genital” gender baru yang ingin didaftarkan.
Lebih dari 10.000 orang Jepang secara resmi telah mengubah gender mereka sejak itu, menurut dokumen pengadilan dari putusan 11 Oktober yang menerima permintaan perubahan gender Gen Suzuki tanpa operasi reproduksi yang diwajibkan.
Operasi untuk menghilangkan organ reproduksi tidak diperlukan di sebagian besar sekitar 50 negara Eropa dan Asia Tengah yang memiliki undang-undang yang mengizinkan orang untuk mengubah gender mereka pada dokumen resmi, putusan Shizuoka mengatakan. Praktik mengubah gender seseorang dengan cara demikian telah menjadi arus utama di banyak tempat di seluruh dunia, catatnya.
Di negara yang patuh di mana pemerintah konservatif tetap memegang teguh nilai-nilai keluarga paternalistik tradisional dan enggan menerima keragaman seksual dan keluarga, banyak orang LGBTQ+ masih menyembunyikan seksualitas mereka karena takut akan diskriminasi di tempat kerja dan sekolah.
Beberapa kelompok yang menentang inklusivitas lebih lanjut untuk orang transgender, terutama mereka yang berubah dari laki-laki menjadi perempuan, menyerahkan petisi pada Selasa ke Mahkamah Agung, meminta agar persyaratan operasi tetap dipertahankan.
Ratusan munisipalitas kini mengeluarkan sertifikat mitra untuk pasangan sesama jenis untuk mempermudah kesulitan dalam menyewa apartemen dan bidang lain, tetapi mereka tidak memiliki kekuatan hukum.
Pada 2019, Mahkamah Agung dalam kasus lain yang diajukan oleh pria transgender yang meminta perubahan pendaftaran gender tanpa operasi organ seksual dan sterilisasi yang diwajibkan menemukan undang-undang saat itu konstitusional.
Dalam putusan itu, pengadilan tertinggi mengatakan undang-undang konstitusional karena dimaksudkan untuk mengurangi kebingungan di keluarga dan masyarakat, meskipun mengakui bahwa itu membatasi kebebasan dan mungkin menjadi ketinggalan zaman dengan berubahnya nilai-nilai sosial dan seharusnya ditinjau kembali.